Kain Tapis merupakan salah satu jenis
kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap
lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh sebab itu, munculnya kain
tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan
teknik tenun, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan
perkembangan kebudayaan masyarakat.
kain tapis indonesia
Kain tapis merupakan salah satu jenis
kerajinan tradisional masyarakat
Lampung dalam
menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta
Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap
waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara
memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan
masyarakat.
Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang Lampung telah menenun kain brokat yang disebut nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad
ke-2 Sebelum Masehi. Motif kain ini ialah kait dan kunci (key and rhomboid
shape), pohon hayat, dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah
meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat,
disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang
terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang
sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur
pengaruh taradisi Neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di
Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis. Walaupun unsur
baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.
Adanya komunikasi dan
lalu lintas antar kepulauan
Indonesia sangat
memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia
kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa
pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan
islam antara tahun 1500 - 1700 .
Sejarah tapis juga didapat dari Muhammad Ridho Pratama Putra (Dido Zulkarnaein). Muhammad Ridho Pratama Putra, berpendapat bahwa:
Sejarah Tapis Sejak Masa Pra-Sejarah
Sejarah mencatat bahwa
masyarakat Lampung telah mengenal tenun Pelepai dan Nampan sejak abad ke-2 SM. (menurut Van der Hoop = sejarawan asal Belanda).
Penggunaan benang emas
dalam budaya tenun Indonesia merupakan hasil kontak dagang dengan
bangsa China sebagai penemu benang emas sejak Masa Sebelum Masehi.
Sejarah mencatat pula,
bahwa Bangsa Lampung telah melakukan kontak dagang dengan Bangsa China sejak
Abad ke-5 M, ketika Kerajaan
P'o-Huang (dapat dieja
"Bawang" yang berarti Rawadalam Bahasa Lampung) mengirimkan utusannya ke Negeri China pada Tahun 449 M. dengan membawa Upeti dan 41 jenis barang dari P'o-Huang yang diperdagangkan ke China (kitab Liu Sung Shu, 420-479 M.). Bahkan berdasarkan temuan keramik China masa Dinasti Han (203-220
M), mengindikasikan bahwa perdagangan antara Bangsa Lampung Kuno dengan China telah berlangsung sejak awal Abad Ke-3
M.
Penggunaan benang emas
dan kapas dalam tradisi tenun Lampung merupakan kelanjutan dari teradisi menenun sejak jaman Perunggu atau Perundagian (antara 3000 - 1500 SM). Ini dapat
dilihat dari ragam motif pada kain-kain tapis kuno, kain inuh dan kain bidak yang bergaya Neolitikum, seperti: pucuk rebung, meander, manusia, pohon hayat, sulur, binatang dll. Yang juga terdapat pada nekara dan bejana perunggu,
serta pecahan-pecahan gerabah Neolitikum.
Sebelum mengenal kapas
dari bangsa China dan India, masyarakat
Lampung seperti juga masyarakat purba lainnya di dunia telah memanfaatkan kulit kayu (kulit
kayu halim dan tangkil),
seratpisang, serat pandan,
dll. untuk dipintal menjadi benang sebagai bahan dasar kain
tenun.
Untuk masyarakat Lampung,
penggunaan benang emas, benang perak dan kaca merupakan kelanjutan dari tradisi prasejarah, dimana pada masa itu masyarakat Lampung purba menghiasi kain tenun mereka dengan
menempelkan atau menyulam benda-benda yang dianggap berharga atau memilki
kekuatan magis seperti manik-manik, kulit kerang, kepingan logam (perunggu),
maupun sulaman benang / serat-serat berwarna terang, hal ini mungkin berkaitan
dengan status sosial masyarakat pada masa itu, dimana
semakin semarak ragam hias pakaian atau kain tenun tersebut, maka semakin
tinggi pula status sosialnya.
Sisa-sisa tradisi ini masih dapat kita temui dalam kain tapis kuno, kain inuh, kain bidak, maupun
pada tradisi manik-manik Lampung seperti pada lakkai (wadah seserahan,
terbuat dari anyaman bambu atau rotan) dan peleppai manik-manik maupun pada benda-benda peniggalan
budaya lainnya.
Setelah kontak dagang
dengan Bangsa China dan India terjadi, maka mulailah mereka mengenal
penggunaan kapas dan menghiasinya dengan barang-barang impor seperti benang emas, benang perak,
benang sutera alam, dan kaca. Dan banyak mengalami
perkembangan motif seiring dengan perubahan jaman sampai masuknya pengaruh
Islam yang sangat besar, dan semakin menambah kekayaan ragam hias dan jenis
dari kain tapis Lampung itu sendiri.
Namun kini, dari dua ratusan motif dan jenis kain tapis yang dahulu pernah ada, saat ini tidak lebih dari tiga puluh motif dan jenis saja yang masih dikenal dan diproduksi, bahkan diantaranya kini terancam hilang dan nyaris punah. Hal ini dikarenakan rumitnya pengerjaan dan lamanya waktu proses pembuatan yang dibutuhkan untuk memproduksi satu jenis kain. Mengingat jenis kain ini tidak bisa diproduksi dengan mesin.
Selain dari kurangnya
kepedulian masyarakat pada keberadaan tapis-tapis kuno, juga akibat dari
perburuan besar-besaran terhadap kain-kain langka tersebut oleh orang-orang
asing.
Catatan: 1. Umumnya
kerajaan-kerajaan yang dicatat oleh bangsa China dalam kitab sejarahnya adalah
kerajaan-kerajaan besar.
2. Kain peleppai
disebut juga kain kapal karena motif utamanya berupa kapal arwah, yang
berisikan arwah leluhur (kepercayaan jaman batu), namun
baru pada jaman Islam kapal itu dianggap kapal atau bahtera Nabi Nuh,
karena dalam Islam tidak mengenal istilah kapal arwah.
Kain Tapis merupakan salah satu jenis
kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap
lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh sebab itu, munculnya kain
tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan
teknik tenun, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan
perkembangan kebudayaan masyarakat.
Kain tapis merupakan salah satu jenis
kerajinan tradisional masyarakat
Lampung dalam
menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta
Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap
waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara
memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan
masyarakat.
Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang Lampung telah menenun kain brokat yang disebut nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad
ke-2 Sebelum Masehi. Motif kain ini ialah kait dan kunci (key and rhomboid
shape), pohon hayat, dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah
meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat,
disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang
terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang
sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur
pengaruh taradisi Neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di
Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis. Walaupun unsur
baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.
Adanya komunikasi dan
lalu lintas antar kepulauan
Indonesia sangat
memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia
kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa
pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan
islam antara tahun 1500 - 1700 .
Sejarah tapis juga didapat dari Muhammad Ridho Pratama Putra (Dido Zulkarnaein). Muhammad Ridho Pratama Putra, berpendapat bahwa:
Sejarah Tapis Sejak Masa Pra-Sejarah
Sejarah mencatat bahwa
masyarakat Lampung telah mengenal tenun Pelepai dan Nampan sejak abad ke-2 SM. (menurut Van der Hoop = sejarawan asal Belanda).
Sejarah juga mencatat
bahwa Tapis Lampung telah disebutkan dalam prasasti Raja Balitung (Abad ke-9 M.) sebagai barang yang
dihadiahkan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Tapissejak jaman
dahulu merupakan barang mahal, karena pada dasarnya barang yang dihadiahkan
adalah barang yg memiliki nilai-nilai tertentu. Bersamaan pada abad tersebut
kain songket telah berkembang di lingkungan Kerajaan Sriwijaya,
dimana kain songket telah ada sejak jaman Kerajaan Malayu (Abad
ke-5 M).
Penggunaan benang emas
dalam budaya tenun Indonesia merupakan hasil kontak dagang dengan
bangsa China sebagai penemu benang emas sejak Masa Sebelum Masehi.
Sejarah mencatat pula,
bahwa Bangsa Lampung telah melakukan kontak dagang dengan Bangsa China sejak
Abad ke-5 M, ketika Kerajaan
P'o-Huang (dapat dieja
"Bawang" yang berarti Rawadalam Bahasa Lampung) mengirimkan utusannya ke Negeri China pada Tahun 449 M. dengan membawa Upeti dan 41 jenis barang dari P'o-Huang yang diperdagangkan ke China (kitab Liu Sung Shu, 420-479 M.). Bahkan berdasarkan temuan keramik China masa Dinasti Han (203-220
M), mengindikasikan bahwa perdagangan antara Bangsa Lampung Kuno dengan China telah berlangsung sejak awal Abad Ke-3
M.
Penggunaan benang emas
dan kapas dalam tradisi tenun Lampung merupakan kelanjutan dari teradisi menenun sejak jaman Perunggu atau Perundagian (antara 3000 - 1500 SM). Ini dapat
dilihat dari ragam motif pada kain-kain tapis kuno, kain inuh dan kain bidak yang bergaya Neolitikum, seperti: pucuk rebung, meander, manusia, pohon hayat, sulur, binatang dll. Yang juga terdapat pada nekara dan bejana perunggu,
serta pecahan-pecahan gerabah Neolitikum.
Sebelum mengenal kapas
dari bangsa China dan India, masyarakat
Lampung seperti juga masyarakat purba lainnya di dunia telah memanfaatkan kulit kayu (kulit
kayu halim dan tangkil),
seratpisang, serat pandan,
dll. untuk dipintal menjadi benang sebagai bahan dasar kain
tenun.
Untuk masyarakat Lampung,
penggunaan benang emas, benang perak dan kaca merupakan kelanjutan dari tradisi prasejarah, dimana pada masa itu masyarakat Lampung purba menghiasi kain tenun mereka dengan
menempelkan atau menyulam benda-benda yang dianggap berharga atau memilki
kekuatan magis seperti manik-manik, kulit kerang, kepingan logam (perunggu),
maupun sulaman benang / serat-serat berwarna terang, hal ini mungkin berkaitan
dengan status sosial masyarakat pada masa itu, dimana
semakin semarak ragam hias pakaian atau kain tenun tersebut, maka semakin
tinggi pula status sosialnya.
Sisa-sisa tradisi ini masih dapat kita temui dalam kain tapis kuno, kain inuh, kain bidak, maupun
pada tradisi manik-manik Lampung seperti pada lakkai (wadah seserahan,
terbuat dari anyaman bambu atau rotan) dan peleppai manik-manik maupun pada benda-benda peniggalan
budaya lainnya.
Setelah kontak dagang
dengan Bangsa China dan India terjadi, maka mulailah mereka mengenal
penggunaan kapas dan menghiasinya dengan barang-barang impor seperti benang emas, benang perak,
benang sutera alam, dan kaca. Dan banyak mengalami
perkembangan motif seiring dengan perubahan jaman sampai masuknya pengaruh
Islam yang sangat besar, dan semakin menambah kekayaan ragam hias dan jenis
dari kain tapis Lampung itu sendiri.
Namun kini, dari dua ratusan motif dan jenis kain tapis yang dahulu pernah ada, saat ini tidak lebih dari tiga puluh motif dan jenis saja yang masih dikenal dan diproduksi, bahkan diantaranya kini terancam hilang dan nyaris punah. Hal ini dikarenakan rumitnya pengerjaan dan lamanya waktu proses pembuatan yang dibutuhkan untuk memproduksi satu jenis kain. Mengingat jenis kain ini tidak bisa diproduksi dengan mesin.
Selain dari kurangnya
kepedulian masyarakat pada keberadaan tapis-tapis kuno, juga akibat dari
perburuan besar-besaran terhadap kain-kain langka tersebut oleh orang-orang
asing.
Catatan: 1. Umumnya
kerajaan-kerajaan yang dicatat oleh bangsa China dalam kitab sejarahnya adalah
kerajaan-kerajaan besar.
2. Kain peleppai
disebut juga kain kapal karena motif utamanya berupa kapal arwah, yang
berisikan arwah leluhur (kepercayaan jaman batu), namun
baru pada jaman Islam kapal itu dianggap kapal atau bahtera Nabi Nuh,
karena dalam Islam tidak mengenal istilah kapal arwah.
Kain Tapis merupakan salah satu jenis
kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap
lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh sebab itu, munculnya kain
tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan
teknik tenun, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan
perkembangan kebudayaan masyarakat.
Kain tapis merupakan salah satu jenis
kerajinan tradisional masyarakat
Lampung dalam
menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta
Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap
waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara
memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan
masyarakat.
Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang Lampung telah menenun kain brokat yang disebut nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad
ke-2 Sebelum Masehi. Motif kain ini ialah kait dan kunci (key and rhomboid
shape), pohon hayat, dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah
meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat,
disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang
terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang
sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur
pengaruh taradisi Neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di
Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis. Walaupun unsur
baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.
Adanya komunikasi dan
lalu lintas antar kepulauan
Indonesia sangat
memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia
kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa
pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan
islam antara tahun 1500 - 1700 .
Sejarah tapis juga didapat dari Muhammad Ridho Pratama Putra (Dido Zulkarnaein). Muhammad Ridho Pratama Putra, berpendapat bahwa:
Sejarah Tapis Sejak Masa Pra-Sejarah
Sejarah mencatat bahwa
masyarakat Lampung telah mengenal tenun Pelepai dan Nampan sejak abad ke-2 SM. (menurut Van der Hoop = sejarawan asal Belanda).
Sejarah juga mencatat
bahwa Tapis Lampung telah disebutkan dalam prasasti Raja Balitung (Abad ke-9 M.) sebagai barang yang
dihadiahkan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Tapissejak jaman
dahulu merupakan barang mahal, karena pada dasarnya barang yang dihadiahkan
adalah barang yg memiliki nilai-nilai tertentu. Bersamaan pada abad tersebut
kain songket telah berkembang di lingkungan Kerajaan Sriwijaya,
dimana kain songket telah ada sejak jaman Kerajaan Malayu (Abad
ke-5 M).
Penggunaan benang emas
dalam budaya tenun Indonesia merupakan hasil kontak dagang dengan
bangsa China sebagai penemu benang emas sejak Masa Sebelum Masehi.
Sejarah mencatat pula,
bahwa Bangsa Lampung telah melakukan kontak dagang dengan Bangsa China sejak
Abad ke-5 M, ketika Kerajaan
P'o-Huang (dapat dieja
"Bawang" yang berarti Rawadalam Bahasa Lampung) mengirimkan utusannya ke Negeri China pada Tahun 449 M. dengan membawa Upeti dan 41 jenis barang dari P'o-Huang yang diperdagangkan ke China (kitab Liu Sung Shu, 420-479 M.). Bahkan berdasarkan temuan keramik China masa Dinasti Han (203-220
M), mengindikasikan bahwa perdagangan antara Bangsa Lampung Kuno dengan China telah berlangsung sejak awal Abad Ke-3
M.
Penggunaan benang emas
dan kapas dalam tradisi tenun Lampung merupakan kelanjutan dari teradisi menenun sejak jaman Perunggu atau Perundagian (antara 3000 - 1500 SM). Ini dapat
dilihat dari ragam motif pada kain-kain tapis kuno, kain inuh dan kain bidak yang bergaya Neolitikum, seperti: pucuk rebung, meander, manusia, pohon hayat, sulur, binatang dll. Yang juga terdapat pada nekara dan bejana perunggu,
serta pecahan-pecahan gerabah Neolitikum.
Sebelum mengenal kapas
dari bangsa China dan India, masyarakat
Lampung seperti juga masyarakat purba lainnya di dunia telah memanfaatkan kulit kayu (kulit
kayu halim dan tangkil),
seratpisang, serat pandan,
dll. untuk dipintal menjadi benang sebagai bahan dasar kain
tenun.
Untuk masyarakat Lampung,
penggunaan benang emas, benang perak dan kaca merupakan kelanjutan dari tradisi prasejarah, dimana pada masa itu masyarakat Lampung purba menghiasi kain tenun mereka dengan
menempelkan atau menyulam benda-benda yang dianggap berharga atau memilki
kekuatan magis seperti manik-manik, kulit kerang, kepingan logam (perunggu),
maupun sulaman benang / serat-serat berwarna terang, hal ini mungkin berkaitan
dengan status sosial masyarakat pada masa itu, dimana
semakin semarak ragam hias pakaian atau kain tenun tersebut, maka semakin
tinggi pula status sosialnya.
Sisa-sisa tradisi ini masih dapat kita temui dalam kain tapis kuno, kain inuh, kain bidak, maupun
pada tradisi manik-manik Lampung seperti pada lakkai (wadah seserahan,
terbuat dari anyaman bambu atau rotan) dan peleppai manik-manik maupun pada benda-benda peniggalan
budaya lainnya.
Setelah kontak dagang
dengan Bangsa China dan India terjadi, maka mulailah mereka mengenal
penggunaan kapas dan menghiasinya dengan barang-barang impor seperti benang emas, benang perak,
benang sutera alam, dan kaca. Dan banyak mengalami
perkembangan motif seiring dengan perubahan jaman sampai masuknya pengaruh
Islam yang sangat besar, dan semakin menambah kekayaan ragam hias dan jenis
dari kain tapis Lampung itu sendiri.
Namun kini, dari dua ratusan motif dan jenis kain tapis yang dahulu pernah ada, saat ini tidak lebih dari tiga puluh motif dan jenis saja yang masih dikenal dan diproduksi, bahkan diantaranya kini terancam hilang dan nyaris punah. Hal ini dikarenakan rumitnya pengerjaan dan lamanya waktu proses pembuatan yang dibutuhkan untuk memproduksi satu jenis kain. Mengingat jenis kain ini tidak bisa diproduksi dengan mesin.
Selain dari kurangnya
kepedulian masyarakat pada keberadaan tapis-tapis kuno, juga akibat dari
perburuan besar-besaran terhadap kain-kain langka tersebut oleh orang-orang
asing.
Catatan: 1. Umumnya
kerajaan-kerajaan yang dicatat oleh bangsa China dalam kitab sejarahnya adalah
kerajaan-kerajaan besar.
2. Kain peleppai
disebut juga kain kapal karena motif utamanya berupa kapal arwah, yang
berisikan arwah leluhur (kepercayaan jaman batu), namun
baru pada jaman Islam kapal itu dianggap kapal atau bahtera Nabi Nuh,
karena dalam Islam tidak mengenal istilah kapal arwah.
Kain Tapis merupakan salah satu jenis
kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap
lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh sebab itu, munculnya kain
tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan
teknik tenun, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan
perkembangan kebudayaan masyarakat.
Kain tapis merupakan salah satu jenis
kerajinan tradisional masyarakat
Lampung dalam
menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta
Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap
waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara
memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan
masyarakat.
Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang Lampung telah menenun kain brokat yang disebut nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad
ke-2 Sebelum Masehi. Motif kain ini ialah kait dan kunci (key and rhomboid
shape), pohon hayat, dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah
meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat,
disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang
terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang
sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur
pengaruh taradisi Neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di
Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis. Walaupun unsur
baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.
Adanya komunikasi dan
lalu lintas antar kepulauan
Indonesia sangat
memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia
kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa
pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan
islam antara tahun 1500 - 1700 .
Sejarah tapis juga didapat dari Muhammad Ridho Pratama Putra (Dido Zulkarnaein). Muhammad Ridho Pratama Putra, berpendapat bahwa:
Sejarah Tapis Sejak Masa Pra-Sejarah
Sejarah mencatat bahwa
masyarakat Lampung telah mengenal tenun Pelepai dan Nampan sejak abad ke-2 SM. (menurut Van der Hoop = sejarawan asal Belanda).
Sejarah juga mencatat
bahwa Tapis Lampung telah disebutkan dalam prasasti Raja Balitung (Abad ke-9 M.) sebagai barang yang
dihadiahkan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Tapissejak jaman
dahulu merupakan barang mahal, karena pada dasarnya barang yang dihadiahkan
adalah barang yg memiliki nilai-nilai tertentu. Bersamaan pada abad tersebut
kain songket telah berkembang di lingkungan Kerajaan Sriwijaya,
dimana kain songket telah ada sejak jaman Kerajaan Malayu (Abad
ke-5 M).
Penggunaan benang emas
dalam budaya tenun Indonesia merupakan hasil kontak dagang dengan
bangsa China sebagai penemu benang emas sejak Masa Sebelum Masehi.
Sejarah mencatat pula,
bahwa Bangsa Lampung telah melakukan kontak dagang dengan Bangsa China sejak
Abad ke-5 M, ketika Kerajaan
P'o-Huang (dapat dieja
"Bawang" yang berarti Rawadalam Bahasa Lampung) mengirimkan utusannya ke Negeri China pada Tahun 449 M. dengan membawa Upeti dan 41 jenis barang dari P'o-Huang yang diperdagangkan ke China (kitab Liu Sung Shu, 420-479 M.). Bahkan berdasarkan temuan keramik China masa Dinasti Han (203-220
M), mengindikasikan bahwa perdagangan antara Bangsa Lampung Kuno dengan China telah berlangsung sejak awal Abad Ke-3
M.
Penggunaan benang emas
dan kapas dalam tradisi tenun Lampung merupakan kelanjutan dari teradisi menenun sejak jaman Perunggu atau Perundagian (antara 3000 - 1500 SM). Ini dapat
dilihat dari ragam motif pada kain-kain tapis kuno, kain inuh dan kain bidak yang bergaya Neolitikum, seperti: pucuk rebung, meander, manusia, pohon hayat, sulur, binatang dll. Yang juga terdapat pada nekara dan bejana perunggu,
serta pecahan-pecahan gerabah Neolitikum.
Sebelum mengenal kapas
dari bangsa China dan India, masyarakat
Lampung seperti juga masyarakat purba lainnya di dunia telah memanfaatkan kulit kayu (kulit
kayu halim dan tangkil),
seratpisang, serat pandan,
dll. untuk dipintal menjadi benang sebagai bahan dasar kain
tenun.
Untuk masyarakat Lampung,
penggunaan benang emas, benang perak dan kaca merupakan kelanjutan dari tradisi prasejarah, dimana pada masa itu masyarakat Lampung purba menghiasi kain tenun mereka dengan
menempelkan atau menyulam benda-benda yang dianggap berharga atau memilki
kekuatan magis seperti manik-manik, kulit kerang, kepingan logam (perunggu),
maupun sulaman benang / serat-serat berwarna terang, hal ini mungkin berkaitan
dengan status sosial masyarakat pada masa itu, dimana
semakin semarak ragam hias pakaian atau kain tenun tersebut, maka semakin
tinggi pula status sosialnya.
Sisa-sisa tradisi ini masih dapat kita temui dalam kain tapis kuno, kain inuh, kain bidak, maupun
pada tradisi manik-manik Lampung seperti pada lakkai (wadah seserahan,
terbuat dari anyaman bambu atau rotan) dan peleppai manik-manik maupun pada benda-benda peniggalan
budaya lainnya.
Setelah kontak dagang
dengan Bangsa China dan India terjadi, maka mulailah mereka mengenal
penggunaan kapas dan menghiasinya dengan barang-barang impor seperti benang emas, benang perak,
benang sutera alam, dan kaca. Dan banyak mengalami
perkembangan motif seiring dengan perubahan jaman sampai masuknya pengaruh
Islam yang sangat besar, dan semakin menambah kekayaan ragam hias dan jenis
dari kain tapis Lampung itu sendiri.
Namun kini, dari dua ratusan motif dan jenis kain tapis yang dahulu pernah ada, saat ini tidak lebih dari tiga puluh motif dan jenis saja yang masih dikenal dan diproduksi, bahkan diantaranya kini terancam hilang dan nyaris punah. Hal ini dikarenakan rumitnya pengerjaan dan lamanya waktu proses pembuatan yang dibutuhkan untuk memproduksi satu jenis kain. Mengingat jenis kain ini tidak bisa diproduksi dengan mesin.
Selain dari kurangnya
kepedulian masyarakat pada keberadaan tapis-tapis kuno, juga akibat dari
perburuan besar-besaran terhadap kain-kain langka tersebut oleh orang-orang
asing.
Catatan: 1. Umumnya
kerajaan-kerajaan yang dicatat oleh bangsa China dalam kitab sejarahnya adalah
kerajaan-kerajaan besar.
2. Kain peleppai
disebut juga kain kapal karena motif utamanya berupa kapal arwah, yang
berisikan arwah leluhur (kepercayaan jaman batu), namun
baru pada jaman Islam kapal itu dianggap kapal atau bahtera Nabi Nuh,
karena dalam Islam tidak mengenal istilah kapal arwah.
Kain Tapis merupakan salah satu jenis
kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap
lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh sebab itu, munculnya kain
tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan
teknik tenun, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan
perkembangan kebudayaan masyarakat.
Kain tapis merupakan salah satu jenis
kerajinan tradisional masyarakat
Lampung dalam
menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta
Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap
waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara
memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan
masyarakat.
Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang Lampung telah menenun kain brokat yang disebut nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad
ke-2 Sebelum Masehi. Motif kain ini ialah kait dan kunci (key and rhomboid
shape), pohon hayat, dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah
meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat,
disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang
terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang
sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur
pengaruh taradisi Neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di
Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis. Walaupun unsur
baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.
Adanya komunikasi dan
lalu lintas antar kepulauan
Indonesia sangat
memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia
kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa
pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan
islam antara tahun 1500 - 1700 .
Sejarah tapis juga didapat dari Muhammad Ridho Pratama Putra (Dido Zulkarnaein). Muhammad Ridho Pratama Putra, berpendapat bahwa:
Sejarah Tapis Sejak Masa Pra-Sejarah
Sejarah mencatat bahwa
masyarakat Lampung telah mengenal tenun Pelepai dan Nampan sejak abad ke-2 SM. (menurut Van der Hoop = sejarawan asal Belanda).
Sejarah juga mencatat
bahwa Tapis Lampung telah disebutkan dalam prasasti Raja Balitung (Abad ke-9 M.) sebagai barang yang
dihadiahkan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Tapissejak jaman
dahulu merupakan barang mahal, karena pada dasarnya barang yang dihadiahkan
adalah barang yg memiliki nilai-nilai tertentu. Bersamaan pada abad tersebut
kain songket telah berkembang di lingkungan Kerajaan Sriwijaya,
dimana kain songket telah ada sejak jaman Kerajaan Malayu (Abad
ke-5 M).
Penggunaan benang emas
dalam budaya tenun Indonesia merupakan hasil kontak dagang dengan
bangsa China sebagai penemu benang emas sejak Masa Sebelum Masehi.
Sejarah mencatat pula,
bahwa Bangsa Lampung telah melakukan kontak dagang dengan Bangsa China sejak
Abad ke-5 M, ketika Kerajaan
P'o-Huang (dapat dieja
"Bawang" yang berarti Rawadalam Bahasa Lampung) mengirimkan utusannya ke Negeri China pada Tahun 449 M. dengan membawa Upeti dan 41 jenis barang dari P'o-Huang yang diperdagangkan ke China (kitab Liu Sung Shu, 420-479 M.). Bahkan berdasarkan temuan keramik China masa Dinasti Han (203-220
M), mengindikasikan bahwa perdagangan antara Bangsa Lampung Kuno dengan China telah berlangsung sejak awal Abad Ke-3
M.
Penggunaan benang emas
dan kapas dalam tradisi tenun Lampung merupakan kelanjutan dari teradisi menenun sejak jaman Perunggu atau Perundagian (antara 3000 - 1500 SM). Ini dapat
dilihat dari ragam motif pada kain-kain tapis kuno, kain inuh dan kain bidak yang bergaya Neolitikum, seperti: pucuk rebung, meander, manusia, pohon hayat, sulur, binatang dll. Yang juga terdapat pada nekara dan bejana perunggu,
serta pecahan-pecahan gerabah Neolitikum.
Sebelum mengenal kapas
dari bangsa China dan India, masyarakat
Lampung seperti juga masyarakat purba lainnya di dunia telah memanfaatkan kulit kayu (kulit
kayu halim dan tangkil),
seratpisang, serat pandan,
dll. untuk dipintal menjadi benang sebagai bahan dasar kain
tenun.
Untuk masyarakat Lampung,
penggunaan benang emas, benang perak dan kaca merupakan kelanjutan dari tradisi prasejarah, dimana pada masa itu masyarakat Lampung purba menghiasi kain tenun mereka dengan
menempelkan atau menyulam benda-benda yang dianggap berharga atau memilki
kekuatan magis seperti manik-manik, kulit kerang, kepingan logam (perunggu),
maupun sulaman benang / serat-serat berwarna terang, hal ini mungkin berkaitan
dengan status sosial masyarakat pada masa itu, dimana
semakin semarak ragam hias pakaian atau kain tenun tersebut, maka semakin
tinggi pula status sosialnya.
Sisa-sisa tradisi ini masih dapat kita temui dalam kain tapis kuno, kain inuh, kain bidak, maupun
pada tradisi manik-manik Lampung seperti pada lakkai (wadah seserahan,
terbuat dari anyaman bambu atau rotan) dan peleppai manik-manik maupun pada benda-benda peniggalan
budaya lainnya.
Setelah kontak dagang
dengan Bangsa China dan India terjadi, maka mulailah mereka mengenal
penggunaan kapas dan menghiasinya dengan barang-barang impor seperti benang emas, benang perak,
benang sutera alam, dan kaca. Dan banyak mengalami
perkembangan motif seiring dengan perubahan jaman sampai masuknya pengaruh
Islam yang sangat besar, dan semakin menambah kekayaan ragam hias dan jenis
dari kain tapis Lampung itu sendiri.
Namun kini, dari dua ratusan motif dan jenis kain tapis yang dahulu pernah ada, saat ini tidak lebih dari tiga puluh motif dan jenis saja yang masih dikenal dan diproduksi, bahkan diantaranya kini terancam hilang dan nyaris punah. Hal ini dikarenakan rumitnya pengerjaan dan lamanya waktu proses pembuatan yang dibutuhkan untuk memproduksi satu jenis kain. Mengingat jenis kain ini tidak bisa diproduksi dengan mesin.
Selain dari kurangnya
kepedulian masyarakat pada keberadaan tapis-tapis kuno, juga akibat dari
perburuan besar-besaran terhadap kain-kain langka tersebut oleh orang-orang
asing.
Catatan: 1. Umumnya
kerajaan-kerajaan yang dicatat oleh bangsa China dalam kitab sejarahnya adalah
kerajaan-kerajaan besar.
2. Kain peleppai
disebut juga kain kapal karena motif utamanya berupa kapal arwah, yang
berisikan arwah leluhur (kepercayaan jaman batu), namun
baru pada jaman Islam kapal itu dianggap kapal atau bahtera Nabi Nuh,
karena dalam Islam tidak mengenal istilah kapal arwah.
Kain Tapis merupakan salah satu jenis
kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap
lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh sebab itu, munculnya kain
tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan
teknik tenun, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan
perkembangan kebudayaan masyarakat.
Kain tapis merupakan salah satu jenis
kerajinan tradisional masyarakat
Lampung dalam
menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta
Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap
waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara
memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan
masyarakat.
Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang Lampung telah menenun kain brokat yang disebut nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad
ke-2 Sebelum Masehi. Motif kain ini ialah kait dan kunci (key and rhomboid
shape), pohon hayat, dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah
meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat,
disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang
terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang
sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur
pengaruh taradisi Neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di
Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis. Walaupun unsur
baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.
Adanya komunikasi dan
lalu lintas antar kepulauan
Indonesia sangat
memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia
kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa
pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan
islam antara tahun 1500 - 1700 .
Sejarah tapis juga didapat dari Muhammad Ridho Pratama Putra (Dido Zulkarnaein). Muhammad Ridho Pratama Putra, berpendapat bahwa:
Sejarah Tapis Sejak Masa Pra-Sejarah
Sejarah mencatat bahwa
masyarakat Lampung telah mengenal tenun Pelepai dan Nampan sejak abad ke-2 SM. (menurut Van der Hoop = sejarawan asal Belanda).
Sejarah juga mencatat
bahwa Tapis Lampung telah disebutkan dalam prasasti Raja Balitung (Abad ke-9 M.) sebagai barang yang
dihadiahkan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Tapissejak jaman
dahulu merupakan barang mahal, karena pada dasarnya barang yang dihadiahkan
adalah barang yg memiliki nilai-nilai tertentu. Bersamaan pada abad tersebut
kain songket telah berkembang di lingkungan Kerajaan Sriwijaya,
dimana kain songket telah ada sejak jaman Kerajaan Malayu (Abad
ke-5 M).
Penggunaan benang emas
dalam budaya tenun Indonesia merupakan hasil kontak dagang dengan
bangsa China sebagai penemu benang emas sejak Masa Sebelum Masehi.
Sejarah mencatat pula,
bahwa Bangsa Lampung telah melakukan kontak dagang dengan Bangsa China sejak
Abad ke-5 M, ketika Kerajaan
P'o-Huang (dapat dieja
"Bawang" yang berarti Rawadalam Bahasa Lampung) mengirimkan utusannya ke Negeri China pada Tahun 449 M. dengan membawa Upeti dan 41 jenis barang dari P'o-Huang yang diperdagangkan ke China (kitab Liu Sung Shu, 420-479 M.). Bahkan berdasarkan temuan keramik China masa Dinasti Han (203-220
M), mengindikasikan bahwa perdagangan antara Bangsa Lampung Kuno dengan China telah berlangsung sejak awal Abad Ke-3
M.
Penggunaan benang emas
dan kapas dalam tradisi tenun Lampung merupakan kelanjutan dari teradisi menenun sejak jaman Perunggu atau Perundagian (antara 3000 - 1500 SM). Ini dapat
dilihat dari ragam motif pada kain-kain tapis kuno, kain inuh dan kain bidak yang bergaya Neolitikum, seperti: pucuk rebung, meander, manusia, pohon hayat, sulur, binatang dll. Yang juga terdapat pada nekara dan bejana perunggu,
serta pecahan-pecahan gerabah Neolitikum.
Sebelum mengenal kapas
dari bangsa China dan India, masyarakat
Lampung seperti juga masyarakat purba lainnya di dunia telah memanfaatkan kulit kayu (kulit
kayu halim dan tangkil),
seratpisang, serat pandan,
dll. untuk dipintal menjadi benang sebagai bahan dasar kain
tenun.
Untuk masyarakat Lampung,
penggunaan benang emas, benang perak dan kaca merupakan kelanjutan dari tradisi prasejarah, dimana pada masa itu masyarakat Lampung purba menghiasi kain tenun mereka dengan
menempelkan atau menyulam benda-benda yang dianggap berharga atau memilki
kekuatan magis seperti manik-manik, kulit kerang, kepingan logam (perunggu),
maupun sulaman benang / serat-serat berwarna terang, hal ini mungkin berkaitan
dengan status sosial masyarakat pada masa itu, dimana
semakin semarak ragam hias pakaian atau kain tenun tersebut, maka semakin
tinggi pula status sosialnya.
Sisa-sisa tradisi ini masih dapat kita temui dalam kain tapis kuno, kain inuh, kain bidak, maupun
pada tradisi manik-manik Lampung seperti pada lakkai (wadah seserahan,
terbuat dari anyaman bambu atau rotan) dan peleppai manik-manik maupun pada benda-benda peniggalan
budaya lainnya.
Setelah kontak dagang
dengan Bangsa China dan India terjadi, maka mulailah mereka mengenal
penggunaan kapas dan menghiasinya dengan barang-barang impor seperti benang emas, benang perak,
benang sutera alam, dan kaca. Dan banyak mengalami
perkembangan motif seiring dengan perubahan jaman sampai masuknya pengaruh
Islam yang sangat besar, dan semakin menambah kekayaan ragam hias dan jenis
dari kain tapis Lampung itu sendiri.
Namun kini, dari dua ratusan motif dan jenis kain tapis yang dahulu pernah ada, saat ini tidak lebih dari tiga puluh motif dan jenis saja yang masih dikenal dan diproduksi, bahkan diantaranya kini terancam hilang dan nyaris punah. Hal ini dikarenakan rumitnya pengerjaan dan lamanya waktu proses pembuatan yang dibutuhkan untuk memproduksi satu jenis kain. Mengingat jenis kain ini tidak bisa diproduksi dengan mesin.
Selain dari kurangnya
kepedulian masyarakat pada keberadaan tapis-tapis kuno, juga akibat dari
perburuan besar-besaran terhadap kain-kain langka tersebut oleh orang-orang
asing.
Catatan: 1. Umumnya
kerajaan-kerajaan yang dicatat oleh bangsa China dalam kitab sejarahnya adalah
kerajaan-kerajaan besar.
2. Kain peleppai
disebut juga kain kapal karena motif utamanya berupa kapal arwah, yang
berisikan arwah leluhur (kepercayaan jaman batu), namun
baru pada jaman Islam kapal itu dianggap kapal atau bahtera Nabi Nuh,
karena dalam Islam tidak mengenal istilah kapal arwah.
Kain Tapis merupakan salah satu jenis
kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap
lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Oleh sebab itu, munculnya kain
tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan
teknik tenun, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan
perkembangan kebudayaan masyarakat.
Kain tapis merupakan salah satu jenis
kerajinan tradisional masyarakat
Lampung dalam
menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta
Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap
waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara
memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan
masyarakat.
Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang Lampung telah menenun kain brokat yang disebut nampan (tampan) dan kain pelepai sejak abad
ke-2 Sebelum Masehi. Motif kain ini ialah kait dan kunci (key and rhomboid
shape), pohon hayat, dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah
meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat,
disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang
terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang
sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur
pengaruh taradisi Neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia.
Masuknya agama Islam di
Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis. Walaupun unsur
baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan.
Adanya komunikasi dan
lalu lintas antar kepulauan
Indonesia sangat
memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia
kemaritiman atau disebut dengan zaman bahari sudah mulai berkembang sejak zaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa
pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan
islam antara tahun 1500 - 1700 .
Sejarah tapis juga didapat dari Muhammad Ridho Pratama Putra (Dido Zulkarnaein). Muhammad Ridho Pratama Putra, berpendapat bahwa:
Sejarah Tapis Sejak Masa Pra-Sejarah
Sejarah mencatat bahwa
masyarakat Lampung telah mengenal tenun Pelepai dan Nampan sejak abad ke-2 SM. (menurut Van der Hoop = sejarawan asal Belanda).
Sejarah juga mencatat
bahwa Tapis Lampung telah disebutkan dalam prasasti Raja Balitung (Abad ke-9 M.) sebagai barang yang
dihadiahkan. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Tapissejak jaman
dahulu merupakan barang mahal, karena pada dasarnya barang yang dihadiahkan
adalah barang yg memiliki nilai-nilai tertentu. Bersamaan pada abad tersebut
kain songket telah berkembang di lingkungan Kerajaan Sriwijaya,
dimana kain songket telah ada sejak jaman Kerajaan Malayu (Abad
ke-5 M).
Penggunaan benang emas
dalam budaya tenun Indonesia merupakan hasil kontak dagang dengan
bangsa China sebagai penemu benang emas sejak Masa Sebelum Masehi.
Sejarah mencatat pula,
bahwa Bangsa Lampung telah melakukan kontak dagang dengan Bangsa China sejak
Abad ke-5 M, ketika Kerajaan
P'o-Huang (dapat dieja
"Bawang" yang berarti Rawadalam Bahasa Lampung) mengirimkan utusannya ke Negeri China pada Tahun 449 M. dengan membawa Upeti dan 41 jenis barang dari P'o-Huang yang diperdagangkan ke China (kitab Liu Sung Shu, 420-479 M.). Bahkan berdasarkan temuan keramik China masa Dinasti Han (203-220
M), mengindikasikan bahwa perdagangan antara Bangsa Lampung Kuno dengan China telah berlangsung sejak awal Abad Ke-3
M.
Penggunaan benang emas
dan kapas dalam tradisi tenun Lampung merupakan kelanjutan dari teradisi menenun sejak jaman Perunggu atau Perundagian (antara 3000 - 1500 SM). Ini dapat
dilihat dari ragam motif pada kain-kain tapis kuno, kain inuh dan kain bidak yang bergaya Neolitikum, seperti: pucuk rebung, meander, manusia, pohon hayat, sulur, binatang dll. Yang juga terdapat pada nekara dan bejana perunggu,
serta pecahan-pecahan gerabah Neolitikum.
Sebelum mengenal kapas
dari bangsa China dan India, masyarakat
Lampung seperti juga masyarakat purba lainnya di dunia telah memanfaatkan kulit kayu (kulit
kayu halim dan tangkil),
seratpisang, serat pandan,
dll. untuk dipintal menjadi benang sebagai bahan dasar kain
tenun.
Untuk masyarakat Lampung,
penggunaan benang emas, benang perak dan kaca merupakan kelanjutan dari tradisi prasejarah, dimana pada masa itu masyarakat Lampung purba menghiasi kain tenun mereka dengan
menempelkan atau menyulam benda-benda yang dianggap berharga atau memilki
kekuatan magis seperti manik-manik, kulit kerang, kepingan logam (perunggu),
maupun sulaman benang / serat-serat berwarna terang, hal ini mungkin berkaitan
dengan status sosial masyarakat pada masa itu, dimana
semakin semarak ragam hias pakaian atau kain tenun tersebut, maka semakin
tinggi pula status sosialnya.
Sisa-sisa tradisi ini masih dapat kita temui dalam kain tapis kuno, kain inuh, kain bidak, maupun
pada tradisi manik-manik Lampung seperti pada lakkai (wadah seserahan,
terbuat dari anyaman bambu atau rotan) dan peleppai manik-manik maupun pada benda-benda peniggalan
budaya lainnya.
Setelah kontak dagang
dengan Bangsa China dan India terjadi, maka mulailah mereka mengenal
penggunaan kapas dan menghiasinya dengan barang-barang impor seperti benang emas, benang perak,
benang sutera alam, dan kaca. Dan banyak mengalami
perkembangan motif seiring dengan perubahan jaman sampai masuknya pengaruh
Islam yang sangat besar, dan semakin menambah kekayaan ragam hias dan jenis
dari kain tapis Lampung itu sendiri.
Namun kini, dari dua ratusan motif dan jenis kain tapis yang dahulu pernah ada, saat ini tidak lebih dari tiga puluh motif dan jenis saja yang masih dikenal dan diproduksi, bahkan diantaranya kini terancam hilang dan nyaris punah. Hal ini dikarenakan rumitnya pengerjaan dan lamanya waktu proses pembuatan yang dibutuhkan untuk memproduksi satu jenis kain. Mengingat jenis kain ini tidak bisa diproduksi dengan mesin.
Selain dari kurangnya
kepedulian masyarakat pada keberadaan tapis-tapis kuno, juga akibat dari
perburuan besar-besaran terhadap kain-kain langka tersebut oleh orang-orang
asing.
Catatan: 1. Umumnya
kerajaan-kerajaan yang dicatat oleh bangsa China dalam kitab sejarahnya adalah
kerajaan-kerajaan besar.
2. Kain peleppai
disebut juga kain kapal karena motif utamanya berupa kapal arwah, yang
berisikan arwah leluhur (kepercayaan jaman batu), namun
baru pada jaman Islam kapal itu dianggap kapal atau bahtera Nabi Nuh,
karena dalam Islam tidak mengenal istilah kapal arwah.
0 komentar: