Arsitektur Jawa



bangunan jawa

Arsitektur Jawa adalah arsitektur yang digunakan oleh masyarakat Jawa. Arsitek Jawa telah ada dan berlangsung selama paling tidak 2.000 tahun.Arsitektur Jawa kuno dipengaruhi oleh kebudayaan India bersamaan dengan datangnya pengaruh Hindu dan Buddha terhadap kehidupan masyarakat Jawa. Wilayah India yang cukup banyak memberi pengaruh terhadap Jawa adalah India Selatan. Ini terbukti dari penemuan candi-candi di India yang hampir menyerupai candi yang ada di Jawa. Begitu pula aksara yang banyak ditemui pada prasasti di Jawa adalah jenis huruf Pallawa yang digunakan oleh orang India selatan. Meskipun budaya India berpengaruh besar tetapi Jawa tidak meniru begitu saja kebudayaan tersebut. Dengan kearifan lokal masyarakat, budaya dari India diterima melalui proses penyaringan (filtrasi) yang natural. Proses akulturasi budaya ini dapat dilihat pada model arsitektur, misalnya, punden berundak (budaya asli Indonesia) pada Candi Sukuh di Jawa Tengah.
Dalam perkembangan selanjutnya dalam periode Klasik Muda di wilayah Jawa Timur pada abad ke13—15 M arsitektur bangunan suci Hindu-Buddha di Jawa telah memperoleh gayanya tersendiri. Bentuk arsitekturnya terdiri dari candi bergaya Singhasari, gaya candi Jago, gaya candi Brahu, dan punden berundak. Pengaruh India dalam hal ini hanya tinggal dalam konsep keagamaannya saja, konsep-konsep kedewataan kemudian digubah kembali oleh para pujangga Jawa Kuna. Dalam hal konsepsi keagamaan hakekat tertinggi dalam agama Hindu dan Buddha dalam masa kerajaan Singhasari dan Majapahit telah dipadukan menjadi Bhattara Siva-Buddha. Perpaduan konsepsi dewata tertinggi itu diwujudkan dalam bentuk bangunan suci, misalnya pada Candi Jawi (Pasuruan) dan Candi Jago (Malang). Di Candi Jawi, unsur Buddha terlihat pada puncaknya, sedangkan di relung candinya dahulu berisikan arca-arca Hindu-Saiva khas Jawa. Begitupun di Candi Jago, cerita relief banyak yang bernafaskan Hindu-Saiva, adapun arca pelengkap candi itu semuanya bernafaskan Buddha Mahayana.

Motif dan Elemen[sunting | sunting sumber]

Batara Kala adalah sosok rakasa ganas sebagai dewa penguasa waktu dan berhubungan dengan sisi perusak dari Dewa Siwa. Kala adalah putera Dewa Siwa yang bergelar sebagai dewa penguasa waktu (kata kala berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya waktu). Dewa Kala sering disimbolkan sebagai rakshasa yang berwajah menyeramkan, hampir tidak menyerupai seorang Dewa. Dalam filsafat Hindu, Kala merupakan simbol bahwa siapa pun tidak dapat melawan hukum karma.
Dalam arsitektur candi Jawa , Kala berfungsi sebagai elemen dekoratif umum pada gerbang masuk dan dinding ,pintu candi ini biasanya dihiasi ukiran kepala kala tepat di atas-tengah pintu. Hal ini dapat ditemukan pada Candi Kalasan dan banyak candi lainnya. Relief Betara Kala digambarkan dengan kepala yang besar dengan rahang atas yang besar dibatasi oleh gigi taring besar, tetapi tanpa rahang bawah.
·         Batara Kala
·         http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/1b/Kalasan_Kala.jpg/71px-Kalasan_Kala.jpg
Ukiran kepala Kala diCandi Kalasan

·         http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/8/84/Candi_Jawi_B.JPG/79px-Candi_Jawi_B.JPG
Kepala Kala di Candi Jawi
Dwarapala[sunting | sunting sumber]
Dwarapala adalah patung penjaga gerbang atau pintu dalam ajaran Siwa dan Buddha, berbentuk manusia atau raksasa yang memegang gada. Biasanya dwarapala diletakkan di luar untuk melindungi tempat suci atau tempat keramat didalamnya. Jumlah arca dwarapala dapat hanya sendirian, sepasang, atau berkelompok. Bangunan suci yang kecil biasanya memiliki hanya satu arca dwarapala. Seringkali dwarapala diletakkan berpasangan di antara gerbang masuk. beberapa situs bangunan suci yang lebih besar memiliki empat, delapan, bahkan duabelas arca dwarapala yang menjaga empat penjuru mata angin sebagai Lokapala, dewa penjaga empat atau delapan penjuru mata angin.
Dwarapala terbesar di Jawa terdapat di Singosari terbuat dari batu andesit utuh setinggi 3,7 meter dengan berat 23 ton. Di pulau Jawa dan Bali arca dwarapala biasanya diukir dari batu andesit, berperawakan gemuk dan digambarkan dalam posisi tubuh setengah berlutut, menggenggam senjata gada. Dwarapala di Kamboja dan Thailand memiliki perawakan tubuh lebih langsing dengan posisi tubuh tegak lurus memegang gada di tengah tepat di antara kedua kakinya. Patung dwarapala di Thailand dibuat dari tembikar tanah liat yang dilapisi glazur pucat susu. Patung seperti ini dibuat pada masa kerajaan Sukhothai dan Ayutthaya. Dalam budaya Jawa, dwarapala dijadikan figur penjaga keraton, misalnya dapat ditemukan di gerbang masuk Keraton Yogyakarta dan gerbang Kamandungan Lor Keraton Surakarta.
·         Dwarapala
·         Arca Dwarapala terbesar di Jawa, zaman kerajaanSinghasari

·         http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/8/83/Plaosan_Temple_Guardian.jpg/120px-Plaosan_Temple_Guardian.jpg
Dwarapala penjaga Candi Plaosan

·         http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/b/b9/Kraton_Surakarta_-_Statue.jpg/120px-Kraton_Surakarta_-_Statue.jpg
Dwarapala pada Kraton Surakarta

·         http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/19/Entr%C3%A9e_du_Temple_de_Dalem_Agung_Padantegal.jpg/90px-Entr%C3%A9e_du_Temple_de_Dalem_Agung_Padantegal.jpg
Sepasang Dwarapala di Puri dalem Agung Bali

·         http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/0/0f/Arca_Dwarapala.jpg/120px-Arca_Dwarapala.jpg
Arca Dwarapala
Stupa merupakan tempat penyimpanan abu sang Buddha dan melambangkan perjalanan Sang Buddha menuju nirvana. Setelah wafat, jasad Buddha dikremasi, lalu abunya disimpan dalam delapan stupa terpisah di utara India. Pada masa kuno di India, stupa digunakan sebagai makam penyimpanan abu bangsawan atau tokoh tertentu. Stupa kemudian dijadikan lambang Buddhisme dan menunjukkan luas pengaruh Buddhisme di berbagai kawasan. Semasa pemerintahan Ashoka (abad ke-2 SM) di India dibangun banyak stupa untuk menandakan Buddha sebagai agama kerajaan. Di Asia Tenggara dan Timur, stupa juga didirikan sebagai pengakuan terhadap Buddhisme di wilayah bersangkutan. Stupa terdiri atas tiga bagian, yaitu andah, yanthra, dan cakra. Andah melambangkan dunia bawah, tempat manusia yang masih dikuasai hawa nafsu, Yanthra merupakan suatu benda untuk memusatkan pikiran saat bermeditasi, dan Cakra melambangkan nirvana atau nirwana, tempat para dewa bersemayam. Stupa di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri. Di Indonesia stupa sering merupakan bagian candi atau komplek candi tertentu, seperti pada Candi Mendut, Borobudur, Jawi, dan Candi Muara Takus.
Mekara[sunting | sunting sumber]
Makara (Sanskerta: मकर) adalah makhluk dalam mitologi Hindu yang digambarkan dengan dua hewan gabungan (di bagian depan berwujud binatang seperti gajah atau buaya atau rusa, atau rusa) dan di bagian belakang digambarkan sebagai hewan air di bagian ekor seperti ikan atau naga.
Makara adalah wahana (kendaraan) dari Dewi Gangga dan dewa Baruna. Itu juga merupakan lambang dari Dewa Kamadeva. Kamadeva juga dikenal sebagai Makaradhvaja (satu bendera yang makara digambarkan). Hal ini sering digunakan untuk melindungi jalan masuk ke kuil Hindu dan Buddha. Makara sering dilukiskan dan dipahatkan dalam candi-candi di Indonesia, khususnya di Bali dan Jawa. Orang Bali menyebutnya gajahmina, yang secara harfiah berarti "ikan gajah". Kadangkala Makara dilukiskan sebagai makhluk berwujud separuh kambing dan separuh ikan seperti simbol Kaprikornus dalam zodiak. Dalam kitab-kitab suci umat Hindu, Makara adalah makhluk yang menjadi kendaraan Dewa Baruna dan Dewi Gangga.
Lingga Yoni[sunting | sunting sumber]
Lingga yoni adalah berkaitan dengan Tri Purusa yaitu Siwa sebagai simbol lingga sedangkan Brahma, dan Wisnu bersama-sama disimbolkan dalam pranala sebagai dasar yaitu yoni. Lingga yang digambarkan sebagai kelamin laki-laki biasanya dilengkapi dengan Yoni sebagai kelamin wanita. Persatuan antara Lingga dan Yoni melambangkan kesuburan. Dalam mitologi Hindu, yoni merupakan penggambaran dari Dewi Uma yang merupakan salah satu sakti (istri) Siwa.
Yoni adalah landasan lingga yang melambangkan kelamin wanita. Pada permukaan yoni terdapat sebuah lubang berbentuk segi empat di bagian tengah – untuk meletakkan lingga – yang dihubungkan dengan kehadiran candi. Yoni merupakan bagian dari bangunan suci dan ditempatkan di bagian tengah ruangan suatu bangunan suci. Yoni biasanya dipergunakan sebagai dasar arca atau lingga. Yoni juga dapat ditempatkan pada ruangan induk candi seperti Candi Jawi di Jawa Timur. Berdasarkan konsep pemikiran Hindu, Yoni adalah indikator arah letak candi[8].
Bentuk Yoni yang ditemukan di Indonesia pada umumnya berdenah bujur sangkar, sekeliling badan Yoni terdapat pelipit-pelipit, seringkali di bagian tengah badan Yoni terdapat bidang panil. Pada salah satu sisi yoni terdapat tonjolan dan laubang yang membentuk cerat. Pada penampang atas Yoni terdapat lubang berbentuk bujur sangkar yang berfungsi untuk meletakkan lingga. Pada sekeliling bagian atas yoni terdapat lekukan yang berfungsi untuk menghalangi air agar tidak tumpah pada waktu dialirkan dari puncak lingga. Dengan demikian air hanya mengalir keluar melalui cerat. Beberapa ahli mengemukakan bahwa bagian-bagian yoni secara lengkap adalah nala (cerat), Jagati, Padma, Kanthi, dan lubang untuk berdirinya lingga atau arca.
Sejak abad ke 8 yaitu Prasasti Canggal telah menyebutkan bahwa seorang raja mendirikan lingga dan Yoni untuk mengukuhkan kedudukannya. Di Kamboja sendiri sudah menjadi kebiasaan bagi seorang raja mendirikan lingga untuk mengukuhkan kedudukannya di atas takhta. Lingga – Yoni demikian, yang sejak Jayawarman II disebut “Dewaraja”, diberi nama yang menggambarkan perpaduan antara raja yang mendirikan dengan sang dewa yang menjadi pemujanya (Siwa).
http://bits.wikimedia.org/static-1.23wmf8/skins/common/images/magnify-clip.png
Makara berbentuk Naga di depan pintu masuk candi Kalasan.
Naga Jawa merupakan motif penting dalam arsitektur Jawa. Naga Jawa digambarkan sebagai sesosok mahluk sakti berbentuk ular raksasa yang tidak memiliki kaki meskipun adakala diwujudkan mempunyai kaki . Naga Jawa memakai badhog atau mahkota di atas kepalanya. Terkadang Naga Jawa digambarkan juga memakai perhiasan anting dan kalung emas.
Naga Jawa juga ditemui di beberapa relief candi. Naga di candi ini dinamakan Naga Taksaka yang bertugas menjaga candi. Umumnya ular naga dijadikan pola hias bentuk makara yaitu pipi tangga di kanan dan kiri tangga naik ke bangunan candi yang dibentuk sebagai badan dan kepala naga: mulut naga digambarkan terbuka lebar dan lidahnya menjulur keluar dalam wujud untaian manik-manik ataupun bentuk makaradengan naga yang menganga dengan seekor singa di dalam mulutnya. Hiasan semacam ini umum didapati di candi-candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sering pula wujud naga dipahat di bawah cerat yoni karena yoni selalu dipahat menonjol keluar dari bingkai bujur sangar sehingga perlu penyangga di bawahnya. Fungsi naga pada bangunan candi atau pada yoni tampaknya erat kaitannya dengan tugas penjagaan atau perlindungan terhadap sebuah bangunan.


0 komentar:

Posting Komentar